Lensa Sosiologi
Sarana Akselerasi Informasi Mahasiswa dan Publik
SENIN, 19 MARET 2012
PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL DI
PEDESAAN
A. Pengantar
Masyarakat desa sering kali dipahami dalam keterkaitannya
dengan kegiatan pertanian. Akan tetapi hal tersebut tidak cukup memadai, sebab
kita juga harus mengaitkannya dengan konteks perubahan dan perkembangan dunia
karena desa juga merupakan bagian integral dari kehidupan dunia. Agar mampu
memahami desa dengan segala dinamikanya maka dibutuhkan teori atau perspektif
(wawasan) sebagai kerangka berpikir. Dalam hal ini desa setidak-tidaknya dapat
dijelaskan dari teori-teori tentang perubahan dan perkembangan sosial
masyarakat.
Teori yang dapat
dipakai untuk menjelaskan fenomena desa adalah teori dari ilmu-ilmu sosial
termasuk di dalamnya teori sosiologi. Teori sosiologi yang digunakan adalah yang mengacu pada teori evolusi
sosial dari Herbert Spencer, yang merupakan turunan dari teori evolusi biologi
Charles Darwin. Teori evolusi sosial ini berusaha menjelaskan fenomena
desa sebagai proses perubahan dan perkembangan masyarakat dari yang masih
bersahaja menuju masyarakat yang kompleks.
Ternyata teori evolusi sosial yang bersifat umum tersebut
tidak cukup memadai untuk dapat menjelaskan fenomena masyarakat desa secara
lebih komprehensif, sehingga diperlukan teori-teori yang sifatnya lebih
khusus. Teori-teori ini mencoba menjelaskan perkembangan masyarakat lewat
tahap-tahap tertentu. Teori-teori khusus ini merupakan model dikotomi dan
trikotomi yang membagi masyarakat menjadi pilah dua maupun pilah tiga.
Teori-teori ini termasuk ke dalam kubu teori modernisme.
Terdapat kubu teori lain yang berlawanan dari kubu teori
modernisme yaitu kubu teori dependensi. Kalau teori modernisasi berpendapat
bahwa semua masyarakat akan berubah dan berkembang menjadi modern, maka teori
dependensi berpendapat bahwa kapitalisme modern menyebabkan masyarakat
pinggiran menjadi tergantung pada negara-negara maju sehingga mengalami
keterbelakangan.
Mengingat bahwa pada kenyataannya terdapat dominasi dari
sistem kapitalisme modern, penyebarluasan teknologi modern dan komunikasi
informasi maka dalam menggunakan kedua kubu teori tersebut sebaiknya juga harus
memperhatikan pendapat Howard Newby. H. Newby berpendapat bahwa studi mengenai
masyarakat desa saat ini hendaknya memfokuskan perhatian pada proses
penyesuaian masyarakat desa terhadap merasuknya sistem kapitalisme modern.
B. Ruang Lingkup Kajian Perubahan Sosial
di Pedesaan
Perubahan sosial adalah suatu proses di mana terjadi perubahan
struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Perubahan dapat terjadi pada level
individual, di mana seseorang bertindak untuk memutuskan menerima atau menolak
inovasi. Perubahan pada level ini disebut dengan bermacam-macam nama, antara
lain difusi, adopsi, modernisasi, akulturasi, belajar atau sosialisasi.
Di sini kami menggunakan istilah perubahan mikro. Perubahan terjadi
juga pada level sistem sosial. Ada berbagai istilah yang dipakai untuk
perubahan macam ini, misalnya pembangunan, internalisasi, integrasi,
atau adaptasi. Di sini kami pergunakan istilah perubahan makro.
Meski selalu saja ada perdebatan, mana yang lebih dahulu yang mempengaruhi,
perubahan mikro atau makro. Seperti debat kusir tentang mana yang lebih dulu,
telur atau ayam.
Untuk melihat perubahan dalam individu, dibutuhkan keahlian
psikologi. Namun secara garis besar, individu menyusun perilaku berdasarkan
sensani (penginderaan), Persepsi, Memori dan Berpikir (Jalaluddin Rakhmat,
Psikologi Komunikasi, Remaja Karya, 1988). Dengan mengetahui mekanisme
kerja itu, perubahan perilaku pada taraf individu dapat diukur. Dengan memahami
mekanisme itu pula, perubahan perilaku pada level individu dapat didorong.
Sedangkan cara untuk memahami perubahan pada level sosial adalah dengan
memahami sistem sosial itu sendiri.
C. Keputusan Atas Perubahan
Namun pada intinya, perubahan sosial adalah sebuah kondisi
ketika sebagian atau seluruh anggota kelompok memutuskan untuk menerima dan
menggunakan ide atau gagasan atau teknik baru (inovasi) yang datang dari dalam
maupun luar kelompok. Sejumlah ahli menyebutnya proses keputusan inovasi yang
terdiri dari beberapa tipe keputusan inovasi, yaitu:
1. Keputusan otoritas, yaitu keputusan yang dipaksakan kepada
seseorang oleh individu yang berada dalam posisi atasan.
2. Keputusan
individual, yaitu keputusan dimana individu yang bersangkutan ambil peranan
dalam pembuatannya. Keputusan individual ini ada dua macam, yaitu:
a. Keputusan opsional, yakni keputusan yang dibuat oleh
seseorang, terlepas dari keputusan yang diambil oleh anggota sistem.
b. Keputusan
kolektif, yakni keputusan yang dibuat oleh individu-individu yang ada dalam
sistem sosial melalui konsensus.
c. keputusan
kontingen, yakni pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi setelah ada
keputusan inovasi yang mendahuluinya. Misalnya keputusan untuk mengadopsi
metode mengajar baru dapat dilakukan setelah ada keputusan kolektif. Tetapi
keputusan kontingen itu bisa merupakan kombinasi dari dua atau lebih keputusan
inovasi.
Sejak lama para ahli mengetahui, keputusan seseorang untuk
menerima atau menolak inovasi bukanlah tindakan yang sekali jadi, melainkan
proses yang terdiri dari serangkaian tindakan dalam jangka waktu tertentu.
Pandangan tradisional mengenai proses keputusan inovasi, disebut “proses
adopsi”, yang dikemukakan ahli-ahli sosiologi pedesaan, terbagi dalam lima
tahap:
1.
Tahap kesadaran,
di mana seseorang mengetahui adanya ide-ide baru tetapi kekurangan informasi
mengenai hal itu.
2.
Tahap menaruh
minat, di mana seseorang mulai menaruh minat terhadap inovasi dan mulai mencari
informasi lebih banyak mengenai inovasi itu.
3.
Tahap penilaian,
di mana seseorang mengadakan penilaian terhadap ide baru itu dihubungkan dengan
situasi dirinya sendiri saat ini dan masa mendatang dan menentukan mencobanya
atau tidak.
4.
Tahap pencobaan,
di mana seseorang menerapkan ide-ide baru itu dalam skala kecil untuk
menentukan kegunaannya, apakah sesuai dengan situasi dirinya.
5.
Tahap penerimaan
(adopsi), di mana seseorang menggunakan ide baru itu secara tetap dalam skala
yang luas.
·
Salah satu bentuk
hubungan antara kota dan desa adalah :
a). Urbanisasi dan Urbanisme
Dengan adanya hubungan Masyarakat Desa dan
Kota yang saling ketergantungan dan saling membutuhkan tersebut maka
timbulah masalah baru yakni; Urbanisasi yaitu suatu proses
berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa
urbanisasi merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan
b) Sebab-sebab Urbanisasi
1. Faktor-faktor yang mendorong penduduk desa untuk meninggalkan
daerah kediamannya (Push factors)
2. Faktor-faktor
yang ada dikota yang menarik penduduk desa untuk pindah dan menetap
dikota (pull factors)
· Hal – hal yang termasuk push factor antara
lain :
a. Bertambahnya penduduk sehingga tidak seimbang dengan
persediaan lahan pertanian,
b. Terdesaknya kerajinan rumah di desa oleh produk industri
modern.
c. Penduduk desa, terutama kaum muda, merasa tertekan oleh oleh
adat istiadat yang ketat sehingga mengakibatkan suatu cara hidup yang monoton.
d. Di desa tidak banyak kesempatan untuk menambah ilmu
pengetahuan.
e. Kegagalan panen yang disebabkan oleh berbagai hal, seperti
banjir, serangan hama, kemarau panjang, dsb. Sehingga memaksa penduduk desa
untuk mencari penghidupan lain dikota.
· Hal – hal yang termasuk pull factor antara
lain :
a. Penduduk desa kebanyakan beranggapan bahwa
di kota banyak pekerjaan dan lebih mudah untuk mendapatkan
penghasilan
b. Dikota lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha
kerajinan rumah menjadi industri kerajinan.
c. Pendidikan
terutama pendidikan lanjutan, lebih banyak dikota dan lebih mudah didapat.
d. Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi
dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam kultur manusianya.
e. Kota memberi kesempatan untuk menghindarkan diri dari kontrol
sosial yang ketat atau untuk mengangkat diri dari posisi sosial yang rendah.
EKSISTENSI NILAI TOLONG-MENOLONG PADA
MASYARAKAT BUGIS
Kajian atas Assitulung-Tulungéng Pada
Prosesi Pernikahan[1]
Oleh: Ambo Upe, S.Sos.,M.Si
Abstrak: Proses
penyelenggaraan pesta pernikahan pada masyarakat Bugis cukup kompleks. Ia
dipengaruhi oleh aturan adat dan agama, dan karena itu pihak yang
menyelenggarakan memerlukan banyak bantuan dalam rangka mematuhi aturan-aturan
yang dimaksud. Mulai dari tahapan penjajakan, persiapan, akad nikah, hingga
pada prosesi pascapernikahan kaum kerabat, tetangga sekampung, dan
sahabat-sahabat memberikan bantuan atau pertolongan baik berupa tenaga, bahan
makanan, maupun uang. Ragam bantuan inilah yang kemudian dalam bahasa Bugis
disebut sebagai assitulung-tulungéng. Dalam penelitian ini
ditemukan dua nilai yang mendasari eksistensi tolong-menolong (assitulung-tulungéng),
yakni nilai Situru’ dan Siturungéng. Nilai situru’ tumbuh, berkembang, dan
dipertahankan dalam lingkungan keluarga inti dan kaum kerabat. Sementara nilai
Siturungéng eksis dalam domain tetangga kampung dan para sahabat.
Kata Kunci: Tolong-menolong, Pernikahan, Situru’, Siturungéng.
A. PENDAHULUAN
Pluralisme budaya telah menjadi karakter dan ciri khas yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia. Keanekaragaman budaya dapat berupa tradisi pernikahan di
antara berbagai suku bangsa. Pada sudut pandang yang luas, pernikahan
merupakan tatanan kehidupan yang mengatur kelakuan manusia, seperti hak dan
kewajiban serta perlindungannya terhadap hasil-hasil perkawinan yaitu
anak-anak, kebutuhan seks (biologis), rasa aman (psikologis), serta kebutuhan
pemberian status (sosiologis), dan kebutuhan nafkah hidup sehari-hari
(ekonomi). Suku bangsa yang menganut sistem keluarga luas (extended family),
pernikahan bukan saja merupakan pertautan dua insan laki-laki dan perempuan,
akan tetapi merupakan pertautan antara dua keluarga besar. Mengacu pada
perspektif Kluckholn, maka pada dasarnya pernikahan mengandung unsur pembentuk
sistem kekerabatan dan juga mengandung muatan sistem religi. Karena itu,
pernikahan merupakan salah satu bagian dalam kebudayaan secara universal.
Ihwal yang pertama memandang makna bahwa pernikahan bagi manusia adalah
suatu hal yang penting dan sakral, karena dengan pernikahan akan terjadi suatu
ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan guna membentuk suatu tatanan
kehidupan rumah tangga. Dengan kata lain, penyelenggaraan pernikahan merupakan
suatu legitimasi sosial yang amat penting, sehingga secara turun temurun
terinternalisasi dalam suatu ikatan kekerabatan. Selain sebagai unsur
pembentuk sistem kekerabatan, pernikahan juga merupakan salah satu aspek
penting dalam sistem religi yang tertuang dalam ajaran agama tertentu. Agama
Islam misalnya, memandang bahwa pernikahan merupakan urusan yang sangat
penting, sehingga dalam Al-Quran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung
maupun tidak langsung berbicara mengenai perkawinan atau yang disebut nikah.
Salah satu ayat diantaranya menyebutkan “Dan kawinkanlah orang-orang
yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak dari hamba sahaya kamu
yang laki-laki dan hamba sahaya kamu yang perempuan. Jika mereka yang miskin
Allah akan memampukan mereka dengan karunianya, dan Allah Maha Luas
pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui” (Q.S. An-Nur, ayat 32).
Chabot dalam Sapada (1985) menyatakan bahwa pilihan pasangan hidup bukanlah
urusan pribadi, namun adalah urusan keluarga dan kerabat. Dengan fungsi ini
maka pernikahan haruslah diselenggarakan secara normatif menurut agama dan adat
yang berlaku dalam masyarakat setempat dan harus diselenggarakan secara
sungguh-sungguh dalam suatu upacara perkawinan. Sejalan dengan pandangan
tersebut, menurut Pelras (2006), pernikahan merupakan sesuatu yang sangat
penting dalam kehidupan manusia karena pernikahan bukan hanya merupakan
peristiwa yang harus ditempuh atau dijalani oleh dua individu yang berlainan
jenis kelamin, tetapi lebih jauh adalah perkawinan sesungguhnya proses yang
melibatkan beban dan tanggung jawab dari banyak orang, baik itu tanggung jawab
keluarga, kaum kerabat (sompung lolo) bahkan kesaksian dari seluruh
masyarakat yang ada di lingkungannya.
Oleh karena prosesi pernikahan pada masyarakat Bugis cukup kompleks yang
dipengaruhi oleh aturan adat dan agama, maka pihak yang menyelenggarakan
memerlukan banyak bantuan dalam rangka mematuhi kedua dasar aturan tersebut.
Namun kenyataan menunjukkan bahwa seiring dengan perkembangan globalisasi,
budaya tolong-menolong di Indonesia dapat dikatakan telah terkikis dan menuju
ambang kepunahan. Atas dasar dialektika pemikiran itulah, penelitian
tentang assitulung-tulungéng dalam prosesi pernikahan pada
masyarakat Bugis dipandang penting dan menarik untuk diteliti secara mendalam
melalui prosedur penelitian ilmiah dengan tujuan untuk mengetahui eksistensi
tolong-menolong pada masyarakat Bugis khususnya dalam prosesi pernikahan.
B. KAJIAN LITERATUR
TENTANG TOLONG-MENOLONG
Sebagai sebuah kehidupan kolektif, setiap kelompok masyarakat mengembangkan
kebudayaan yang sesuai dengan kondisi dan kompleksitas masyarakatnya. Pada
masing-masing kelompok masyarakat, hal tersebut dikonstruk menjadi sebuah
pranata. Koentjaraningrat (2000) mendefiniskan pranata sebagai sistem norma
atau aturan-aturan yang mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus. Dengan
adanya pranata, terdapat berbagai keteraturan di dalam tindakan-tindakan
masyarakat guna memenuhi berbagai kebutuhan untuk kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian sebuah pranata timbul pada masyarakat karena pranata tersebut
memiliki fungsi dalam mendukung upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup
manusia sebagai anggota masyarakat. Salah satu pranata yang terdapat dalam
masyarakat adalah tolong-menolong. Menurutnya, pranata tolong-menolong
dimasukkan ke dalam klasifikasi pranata domestik (domestic institutions)
yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan.
Penjelasan mengenai tolong-menolong telah disampaikan oleh Malinowski
(Koentjaraningrat, 1992) bahwa sistem tukar-menukar kewajiban dan benda dalam
banyak lapangan kehidupan masyarakat merupakan daya pengikat dan daya gerak
dari masyarakat. Sistem menyumbang untuk menimbulkan kewajiban membalas
merupakan prinsip dari kehidupan masyarakat kecil yang disebut prinsip timbal
balik (principle of reciprocity). Dalam hubungannya berbagai macam
lapangan aktivitas kehidupan sosial, Koentjaraningrat (1992) menyatakan bahwa
sistem tolong-menolong, yang dalam bahasa Indonesia disebut gotong-royong,
memiliki perbedaan tingkat kerelaannya yaitu (1) tolong-menolong dalam
aktivitas pertanian; (2) tolong-menolong dalam aktivitas sekitar rumah tangga;
(3) tolong-menolong dalam aktivitas persiapan pesta dan upacara; dan (4)
tolong-menolong dalam peristiwa kecelakaan, bencana, dan kematian.
Dari pandangan konseptual di atas, istilah tolong-menolong pada dasarnya
telah diseruhkan dalam ajaran Agama Islam sebagaimana Firman Allah SWT dalam
Surah Al-Maidah ayat 2 yang artinya “Dan tolong menolonglah kamu dalam
kebajikan dan ketakwaan dan janganlah tolong-menolong dalam dosa dan
pelanggaran”. Ayat di atas merupakan prinsip dasar dalam menjalin kerjasama
dengan siapapun, selama tujuannya adalah kebajikan dan ketakwaan.
Eksistensi tolong-menolong (assitulung-tulungéng) pada masyarakat
Bugis tertuang dalam falsafah hidup “Rébba sipatokkong, mali siparappe,
Sirui menre téssurui nok, malillu sipakaingé, maingéppi mupaja”. Artinya,
rebah saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan, saling menarik ke atas dan
tidak saling menekan ke bawah, terlupa saling mengingatkan, nanti sadar atau
tertolong barulah berhenti. Filosofi tersebut memberi pesan agar orang selalu
berpijak dengan teguh dan berdiri kokoh dalam mengarungi kehidupan. Harus
tolong-menolong ketika menghadapi rintangan dan saling mengingatkan untuk
menuju jalan yang benar. Filosofi hidup masyarakat Bugis inilah yang menjadi
pegangan hidup di mana pun mereka berada dan dalam aktivitas apapun yang
dianggap baik.
Secara spesifik, assitulung-tulungéng dalam penyelenggaran
pesta pernikahan masyarakat Bugis sebagai suatu pendekatan sosio-antroplogis
dapat diungkapkan bahwa prinsip tolong-menolong tersebut, bersumber dari adat,
dan juga agama. Karena dalam masyarakat Bugis memang terdapat keanekaragaman
(pluralisme) hukum yang bersumber dari adat, agama, dan Negara. Penjelasan yang
mendalam tentang prosedur pernikahan masyarakat adat Bugis dapat dilihat dari
tulisan Millar (2009) menyatakan bahwa penyelenggarana pesta pernikahan pada
masyarakat Bugis sangat dipengaruhi oleh adat sehingga pihak yang
menyelenggarakannya memerlukan banyak bantuan dalam rangka mematuhi
aturan-aturan adatnya. Karena itu mulai dari proses peminangan sampai akhir
acara perjamuan senantiasa diwarnai dengan hubungan saling membantu.
Dengan demikian dalam perspektif sosio-antropologis, tolong-menolong
merupakan sebuah pranata dalam sistem kemasyarakatan. Tolong-menolong telah
menjadi bagian dari struktur sosial yang membentuk masyarakat. Tolong-menolong
sebagai sebuah pranata saling terkait dengan pranata-pranata lain secara
teratur untuk membentuk satu kesatuan yang sistematis. Dalam perspektif budaya
masyarakat Bugis, pranata tolong-menolong dikonsepsikan sebagai assitulung-tulungéng.
C. METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif
dengan cara melakukan wawancara mendalam (deep interview) kepada
informan sebagai teknik pengumpulan data primer. Melalui teknik penentuan
informan secara snowball diperoleh informan sebanyak 21 orang
yang terbagi atas dua kelompok, yakni 12 informan utama yang meliputi tokoh
agama, tokoh pendidik, dan tokoh pemuda, dan 9 orang informan penunjang.
Sementara data sekunder diperoleh dari kantor kelurahan berupa data
kependudukan Kelurahan Bungkutoko yang dipandang relevan.
Analisis data dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus
menerus, sehingga datanya akan lebih mendalam. Teknik analisis yang demikian
ini mengikuti pendekatan analisis kualitatif dengan menggunakan model Miles and
Huberman (1992). Oleh karena itu, analisis datanya meliputi tiga tahapan.
Pertama, reduksi data (data reduction), yakni merangkum, memilih hal-hal
pokok, dan memfokuskan pada hal-hal penting dari sejumlah data lapangan yang
telah diperoleh dan mencari polanya. Dengan demikian, data yang telah direduksi
akan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang nilai assitulung-tulungéng dalam
prosesi pernikahan pada masyarakat Bugis. Kedua, penyajian data (data
display), yakni menampilkan data yang telah direduksi yang sifatnya sudah
terorganisasikan dan mudah dipahami. Ketiga, kesimpulan (conclution drawing),
yakni akumulasi dari kesimpulan awal yang diserta dengan bukti-bukti yang valid
dan konsisten (kredibel), sehingga kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitian
ini diarahkan untuk menjawab permasalahan penelitian yang diarahkan untuk
memberikan gambaran tentang nilai assitulung-tulungéng dalam
prosesi pernikahan pada masyarakat Bugis di Kelurahan Bungkutoko Kota Kendari.
D. NILAI SITURU’ DAN SITURUNGÉNG:
TEMUAN DAN ANALISIS
Tolong-menolong di tingkat sistem terwujud sebagai sistem ide. Tatanan
nilai yang mencakup nilai selaras (orientasi horizontal), nilai loyalitas
(orientasi vertikal), nilai konformitas (sama rata sama rasa), dan nilai
kebersamaan (saling tergantung antarsesama) merupakan tatanan nilai yang
menjiwai sistem tolong-menolong. Tolong-menolong di tingkat sistem budaya
bersifat abstrak, lambat, dan sukar berubah. Sedangkan di tingkat sistem sosial
bersifat konkret, lebih cepat, dan mudah berubah menurut tingkat perkembangan
masyarakat yang mengkonsepsikannya. Secara filosofis, Spranger (1928)
menyamakan nilai dengan perhatian hidup yang erat kaitannya dengan kebudayaan
karena kebudayaan dipandang sebagai sistem nilai. Kebudayaan merupakan kumpulan
nilai tersusun menurut struktur tertentu. Nilai hidup adalah salah satu penentu
kepribadian, karena merupakan sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita yang
berusaha diwujudkan, dihayati, dan didukung individu.
Dalam konteks sosio-kultur masyarakat Bugis, tolong-menolong (assitulung-tulungéng)
sebagai nilai mendasar, tertuang sejak lama dalam falsafah hidup rebba
sipatokkong, mali siparappe, sirui menre tessurui nok, malillu sipakainge,
maingeppi mupaja. Fenomena yang demikian itu telah dijelaskan oleh
Mattulada (1995) bahwa kehidupan sehari-hari masyarakat Bugis umumnya masih
terikat oleh sistem norma dan aturan adat. Keseluruhan sistem norma dan aturan
adat itu disebutpangaderréng. Pangaderréng dapat
diartikan sebagai keseluruhan norma yang meliputi bagaimana seseorang harus
bertingkah laku terhadap sesama manusia dan terhadap pranata-pranata sosialnya.
Atas dasar ini perlu dilakukan pertanyaan probing mengapa assitulung-tulungéng masih
tetap eksis dalam proses pernikahan pada masyarakat Bugis.
Secara keseluruhan nilai yang mendasari eksistensi assitulung-tulungéng meliputi
dua nilai sosial budaya masyarakat Bugis yang disebut situru’ dan siturungéng.
Nilai budaya tersebut kemudian diperkuat oleh budaya agama Islam yang mereka
anut sejak lama. Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan
tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat,
yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe),
simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan
lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau
sedang terjadi.
Kehidupan manusia dalam masyarakat tidak terlepas akan adanya interaksi
sosial antarsesamanya. Pada dasarnya manusia sesuai dengan fitrahnya merupakan
makhluk sosial yang tidak biasa hidup sendiri melainkan membutuhkan pertolongan
orang lain. Oleh sebab itu di dalam kehidupan masyarakat diperlukan adanya
tolong-menolong dalam menyelesaikan segala permasaiahan. Jatidiri yang demikian
inilah yang dimiliki oleh Suku Bugis di manapun berada, termasuk Suku Bugis
yang ada di Kelurahan Bungkutoko. Suku Bugis di Bungkutoko terkenal dengan
sikap ramah, kekeluargaan, dan saling tolong-menolong di dalam kehidupan
sehari-hari. Atas karakter masyarakat yang demikian, sehingga untuk
menyelesaikan segala problema yang ada di dalam kehidupan masyarakat, termasuk
dalam proses penyelenggaraan pesta pernikahan dibutuhkan sikap kerjasama (sibali
reso) yang dapat mempermudah dan memecahkan masalah secara efisien.
Tolong-menolong, sebagai sebuah pranata dalam sistem kemasyarakatan, timbul
dalam masyarakat sebagai akibat dari keterbatasan anggota masyarakat ataupun
lingkungan dalam memenuhi kebutuhannya. Pranata tolong-menolong berfungsi
mengatur anggota masyarakat dalam berinteraksi guna memenuhi kebutuhannya.
Dalam perspektif struktural-fungsional, keberadaan pranata tolong-menolong
dalam struktur sosial masyarakat karena pranata ini dapat menjadi komponen
dalam struktur yang mampu mengatur pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam kondisi
keterbatasan masyarakat; sekaligus menjadi daya pengikat dan daya gerak
masyarakat.
Dalam prosesnya, tolong-menolong menjalankan prinsip timbal balik (reciprocities)
dan merupakan sebuah bentuk pertukaran sosial. Pertolongan yang diberikan oleh
seseorang menimbulkan kewajiban kepada pihak yang ditolong untuk membalasnya
secara seimbang, dan pada diri pihak pemberi pun muncul harapan akan adanya
balasan yang seimbang pemberiannya. Jadi unsur kerelaan dalam memberi sangat
relatif tingkatnya kecuali untuk tolong-menolong pada situasi kematian atau
musibah yang cenderung rela. Pranata tolong-menolong ini terkait dan saling mempengaruhi
dengan pranata lainnya sebagai sebuah sistem. Tolong-menolong ini akan terjadi
pada saat dilakukan upacara oleh anggota masyarakat, maka anggota masyarakat
lain akan membantu mengingat upacara tersebut dipandang sebagai kegiatan yang
penting dalam sistem religinya.
Realitas ini senada dengan pandangan Koentjaraningrat (2000) bahwa pranata
merupakan sistem norma mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus. Dengan
adanya pranata, terdapat berbagai keteraturan di dalam tindakan-tindakan
masyarakat guna memenuhi berbagai kebutuhan untuk kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian sebuah pranata timbul pada masyarakat karena pranata tersebut
memiliki fungsi dalam mendukung upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup
manusia sebagai anggota masyarakat. Pranata yang terdapat dalam masyarakat
Kelurahan Bungkutoko khususnya bagi Suku Bugis adalah adanya assitulung-tulungéng dimana
eksistensinya ditopang oleh dua pranata sosial budaya, yakni budaya situru’ (seiya-sekata)
dan siturungéng (saling mendatangi).
Kedua pranata ini dapat digolongkan ke dalam klasifikasi pranata domestik (domestic
institutions) sebagaimana yang dimaksudkan oleh Koentjaraningrat yang
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan termasuk dalam proses
pernikahan. Budaya situru’ lah yang menjadi urat nadi
eksisnya assitulung-tulungéng di lingkungan keluarga. Tanpa
budaya situru’, maka kerjasama di lingkungan keluarga inti untuk
menyelenggarakan hajatan pernikahan anaknya tidak akan berjalan dengan lancar
sesuai harapan nilia-nilai yang dianggap baik. Pernikahan silariangadalah
contoh tidak adanya sikap situru’ dari kalangan keluarga,
sehingga anak memilih jalan pintas dengan cara nikah siri.
Eksistensi tolong-menolong (assitulung-tulungéng) yang berupa
penyediaan bahan makanan (mappusara), pembuatan tempat pesta pernikahan
(massarapo), dan proses penyatuan antara laki-laki dan perempuan
termasuk penyatuan keluarga (mappasilorongéng) dalam prosesi pernikahan
masyarakat Bugis merupakan perwujudan hasil sosialisasi nilai-nilai situru’ dan siturungéng yang
telah lama eksis dalam lingkungan masyarakat Bugis di Kelurahan Bungkutoko.
Selanjutnya eksistensi dari kedua nilai tersebut sangat dipengaruhi oleh
eksistensi filosofi rebba sipatokkong dan mali
siparappesebagai asumsi dasar dari budaya assitulung-tulungéng,
serta yang tidak kalah pentingnya adalah ajaran agama yang tertuang dalam
Al-Quran dan Hadist.
Secara kontekstual eksistensi budaya mappasilorongéng didasarkan
pada nilai situru’, dalam pengertian bahwa pernikahan pada masyarakat
Bugis merupakan proses yang melibatkan kesepakatan antara keluarga inti dan
anak. Tanpa adanya kesepakatan di antara keduanya, pernikahan tidak akan
dilangsungkan karena tidak dipandang memiliki nilai status sosial yang tinggi.
Keluarga sebagai pranata sosial dalam masyarakat secara fungsional akan
memberikan kontribusi terhadap eksistensi budaya ini, sehingga ketika terjadi
disfungsional dalam pengertian tidak terjadi kesepakatan (situru’), maka
akan menjadi salah satu faktor terjadinya kawin lari (silariang).
Sementara bentuk budaya mappusara, dan massarapo didasarkan
pada nilai siturungéng, dalam pengertian bahwa pekerjaan menyiapkan
bahan makanan dan berbagai kelengkapan dalam prosesi pernikahan sangat
dibutuhkan kerja sama dari kerabat dan tetangga. Singkatnya, hanya dengan cara
saling mendatangi dan memberi bantuan kepada pihak keluarga mempelai prosesi
ini dapat dilaksanakan dengan baik.
Secara sosiologis, nilai situru’ dan siturungéng merupakan
dasar terciptanya solidaritas sosial. Solidaritas dalam konteks penelitian ini
adalah keterikatan erat antara individu yang satu dengan individu yang lain
pada situasi sosial tertentu. Solidaritas yang muncul dalam setiap kelompok
masyarakat disebabkan adanya beberapa persamaan, seperti persamaan kebutuhan, keturunan,
dan tempat tinggal. Solidaritas menurut Johnson (1986) menunjuk pada suatu
hubungan antara individu atau kelompok berdasarkan perasaan moral dan
kepercayaan yang dianut dan di perkuat oleh pengalaman emosional bersama,
ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang dibuat atas
persetujuan rasional.
Solidaritas dalam perspektif masyarakat Bugis disebut sebagai assimelleréng. Assimelleréngmengandung
makna kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu anggota
keluarga dengan anggota keluarga lain, antara seorang sahabat yang lain, para
tetangga sekitar, memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, dan setia kawan.
Lontara sangat menganjurkan manusia memiliki perasaan kemanusiaan yang tinggi,
solidaritas antar sesama manusia, berusaha membantu orang, dan suka menolong.
Dalam Lontara sebagaimana yang dimuat dalam website rappang, dengan topikAssimelleréng disebutkan
“iya padecengi assiajingéng: sianrasa-rasannge nasiammase-maseie;
sipakario-rio; tessicirinnaiannge risitinajae”. Artinya, yang memperbaiki
hubungan kekeluargaan adalah sependeritaan dan kasih-mengasihi; saling
menggembirakan; merelakan harta benda dalam batas-batas kewajaran.
Dari pengertian di atas dapat diambil beberapa hal yang menjadi ciri-ciri
suatu masyarakat Bugis, yaitu saling berinteraksi, mempunyai ikatan, pola
tingkah laku yang khas tentang semua faktor kehidupan dalam batas kesatuan,
rasa identitas diantara warga yang dapat menunjukkan perbedaan dengan
masyarakat lain. Dalam peristiwa kehidupan sosial sehari-hari, individu sebagai
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat, memiliki
kewajiban untuk menyatu dalam tujuan masyarakat itu sendiri. Kenyataan ini
tidak terbantahkan jika dilihat pada bentuk kehidupan masyarakat, baik
masyarakat dalam bentuk organis maupun dalam bentuk
mekanis. Hal ini di karenakan kehidupan masyarakat merupakan suatu model
kehidupan yang saling mengisi antara satu dengan yang lainnya.
Dalam perspektif kajian sosio-antropologis, konsep assitulung-tulungéng pada
pesta pernikahan masyarakat Bugis dapat diformulasikan ke dalam dua pandangan
teoretis. Pertama, budayaassitulung-tulungéng dipandang sebagai
sistem adaptasi suatu kelompok masyarakat terhadap lingkungannya. Budaya assitulung-tulungéng ditempatkan
sebagai keseluruhan cara hidup suatu masyarakat yang diwariskan, dipelihara,
dan dikembangkan secara turun temurun sesuai dengan tuntutan lingkungan yang
tengah dihadapi. Kedua, budaya assitulung-tulungéng dipandang
sebagai suatu sistem makna dideskripsikan laksana kulit bawang yang tersusun
secara berlapis-lapis. Schein dalam bukunya yang berjudul Organizational
Culture and Leadership (1985) menyebutkan susunan tersebut,
yakni the outer layer, the middle layer, dan the
core. Lapisan luar (the outer layer) yang berupa produk-produk
eksplisit dari suatu budaya sebagaimana yang tercermin pada berbagai jenis
budaya materil sebagaimana yang digunakan dalam proses pernikahan. Selanjutnya
lapisan tengah (the middle layer) yang meliputi norma-norma dan
nilai-nilai yang dianggap sebagai suatu sistem nilai baik atau buruk, yakni
nilai-nilai situru’ dan siturungéng. Sedangkan
lapisan inti (the core) berupa anggapan-anggapan dasar tentang
eksistensi budaya itu sendiri. Lapisan intilah yang menjadi pandangan hidup
yang membedakan suatu kelompok masyarakat.
E. SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa eksistensi assitulung-tulungéng dalam
prosesi pernikahan pada masyarakat Bugis khususnya di Kelurahan Bungkutoko
didasarkan pada dua nilai pokok, yakni nilai situru’ dan siturungéng. Nilai
situru’ tumbuh, berkembang, dan dipertahankan dalam lingkungan keluarga inti
dan kaum kerabat. Sementara nilai Siturungéng eksis dalam domain tetangga
kampung dan para sahabat.
DAFTAR PUSTAKA
Huberman, A. Michael
dan Matthew B. Miles. 1992. Analisis Data Kualitatif. UII Press,
Jakarta.
Johnson, Paul Doyle.
1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar
Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
--------------. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial.
Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.
Mattulada. 1995. Latoa, Suatu
Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Ujung Pandang:
Hasanuddin University Press.
Millar, Susan Bolyard. 2009. Perkawinan
Bugis (terjemahan). Makassar: Ininnawa.
Pelras, C. 2006. Manusia Bugis (terjemahan).
Jakarta: Nalar.
Sapada, A.N. 1985. Tata Rias
Pengantin dan Tata Cara Perkawinan Bugis Makassar. Ujung Pandang: Agung
Lestari.
Schein, Edgar H. 1985. Organizational Culture and
Leadership. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.
Spranger, E. 1928. The Types of Men:
The Psychology and Ethics of Personality. Max Niemeyer Verlag: Halle.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar